Usia Lanjut adalah usia yang sangat
rentan terhadap berbagai penyakit, terutama sekali penyakit yang berhubungan
dengan pernapasan. Pada umumnya yang mendasari penyakit disaat lanjut usia
adalah akibat dari sisa penyakit yang pernah diderita diusia muda, penyakit
karena akibat kebiasaan dimasa lalu (seperti: merokok, minum alkohol dan
sebagainya) dan juga penyakit tertentu yang mudah sekali menyerang saat usia
lanjut. Adalah 2 hal yang sering menyebabkan gangguan pernapasan pada usia
lanjut yaitu penyakit jantung dan penyakit paru.
I. Penyakit Jantung di Usia Lanjut
Penyakit jantung merupakan penyebab
kematian terbesar di seluruh dunia terutama pada usia diatas 65 tahun dan
kebanyakan terjadi di negara-negara berkembang. Sebagai dampak dari
meningkatnya taraf hidup serta pesatnya perkembangan teknologi kedokteran
adalah menurunnya angka kematian karena penyakit infeksi. Akibat dari
menurunnya angka kematian tersebut, maka populasi golongan usia lanjut menjadi
meningkat, dengan demikian akan terjadi peningkatan pula pada penderita
penyakit jantung. Pada golongan lanjut usia penyakit jantung memang merupakan
salah satu penyakit yang banyak sekali ditemui, dan bisa jadi yang terbanyak
diderita.
A. Perubahan bentuk pada jantung.
Penambahan usia tidak akan
menyebabkan otot jantung mengecil (atrofi) seperti halnya organ tubuh yang
lain, akan tetapi justru terjadi peningkatan ukuran jaringan otot jantung (hipertrofi).
Pada batasan usia antara 30 - 90 tahun masa jantung bertambah sekitar 1
gram/tahun pada laki-laki dan 1,5 gram/tahun pada wanita. Perubahan bentuk yang
terjadi pada jantung dengan bertambahnya usia adalah :
a. Elastisitas dinding aorta
(pembuluh arteri besar) akan mengalami penurunan, karena perubahan yang
progresif pada fungsi jaringan elastik aorta.
b. Perubahan pada daun dan
cincin katup aorta, seperti : berkurangnya jumlah inti sel jaringan ikat stroma
katup, penumpukan lemak, degenerasi kolagen dan kalsifikasi jaringan fibrosa
katup tersebut.
c. Bertambahnya ukuran katup
jantung.
d. Bertambahnya lingkaran katup
aorta.
e. Penebalan katup mitral dan
aorta yang disebabkan degenerasi jaringan kolagen.
B. Perubahan fungsi pada jantung.
Dengan bertambahnya usia akan
berpengaruh terhadap fungsi dari jantung, pada usia lanjut akan terjadi
perubahan-perubahan fungsi pada jantung seperti :
a. Pengatur irama denyut jantung
oleh simpul SA tidak teratur.
b. Denyut jantung maksimum pada
latihan (exercise) menurun.
c. Isi 1 menit jantung (cardiac
output) menurun rata-rata 1 % pertahun setelah usia pertengahan.
d. Daya cadang jantung menurun.
e. Fungsi sistolik berkurang.
C. Gejala dan tanda penyakit jantung
di usia lanjut.
Nyeri pada daerah prekordial dan sesak
napas seringkali dirasakan pada penderita penyakit jantung di usia lanjut. Rasa
cepat lelah yang berlebihan seringkali ditemukan sebagai dampak dari sesak
napas yang biasanya terjadi di tengah malam. Gejala lainnya adalah kebingungan,
muntah-muntah dan nyeri pada perut karena pengaruh dari bendungan hepar atau
keluhan insomnia.
Bising sistolik banyak dijumpai pada
penderita lanjut usia, sekitar 60% dari jumlah penderita. Dalam penemuan lain
juga dilaporkan bahwa bising sistolik tanpa keluhan ditemukan pada 26%
penderita yang berusia 65 tahun keatas.
Pada jantung dapat dijumpai kekakuan
pada arteria koroner, cincin katup mitral, katup aorta, miokardium dan
perikardium. Kelainan-kelainan tersebut selalu merupakan keadaan yang abnormal.
D. Jenis Penyakit Jantung pada usia
lanjut.
Penyakit jantung yang dijumpai pada
orang-orang lanjut usia ada beberapa macam, yaitu :
1. Penyakit Jantung Koroner.
Akibat yang besar dari penyakit
jantung koroner adalah kehilangan oksigen dan makanan ke jantung karena aliran
darah ke jantung melalui arteri koroner berkurang. Penyakit jantung koroner
lebih banyak menyerang pria daripada wanita, orang kulit putih dan separoh baya
sampai dengan lanjut usia.
Penyebab dari penyakit jantung
koroner ini adalah aterosklerosis, pada aterosklerosis terjadi plak lemak dan
jaringan serat sehingga menyempitkan bagian dalam arteri jantung. Penyebab
lainnya adalah faktor keturunan, hipertensi, kegemukan, merokok, diabetes,
stress, kurang olahraga dan kolesterol tinggi.
Gejala yang muncul pada penyakit
jantung koroner ini adalah angina, yaitu ketidakcukupan aliran oksigen ke
jantung. Perasaan sakit angina terjadi seperti: terbakar, tertekan, dan tekanan
berat di dada kiri yang dapat meluas ke lengan kiri, leher, dagu dan bahu.
Tanda yang khas saat penyerangan adalah timbulnya rasa mual, muntah, pusing,
keringat dingin dan tungkai serta lengan menjadi dingin.
Mencegah adalah cara paling efektif
dan sangat diperlukan sekali untuk menghindari penyakit jantung koroner,
seperti: diet dengan mengurangi kalori, mengurangi konsumsi garam, lemak,
kolesterol, sering berolahraga, dan kurangi merokok. Pencegahan lainnya adalah
dengan kontrol tekanan darah, menurunkan trigliserida darah dan makan 2,5 gram
aspirin setiap hari (untuk mencegah pembekuan darah).
b. Serangan Jantung.
Serangan jantung terjadi apabila
salah satu arteri jantung tidak sanggup lagi mensuplai darah ke bagian otot
jantung yang dialirinya. Apabila terjadi keterlambatan dalam pengobatan akan
mengakibatkan kematian. Hampir separoh dari kematian mendadak karena serangan
jantung terjadi sebelum pasein tiba di rumah sakit.
Penyebab dari serangan jantung ini
adalah karena pembentukan arterisklerosis (pengerasan arteri jantung) yang
berakibat pada penurunan aliran darah. Faktor resikonya meliputi: faktor
keturunan, tekanan darah tinggi, merokok, kolesterol tinggi, diabetes,
kegemukan, kurang olahraga, pemakaian obat-obatan (terutama kokain), umur dan
stres.
Gejala utama serangan jantung ini
adalah rasa sakit seperti menusuk-nusuk dan bersifat persisten pada dada kiri,
menyebar ke lengan, rahang, leher, dan bahu sampai 12 jam lamanya atau bahkan
lebih. Tanda lain adalah perasaan seperti bingung (bodoh), lelah, mual, muntah,
sesak napas, dingin di lengan dan tungkai, keringat dingin, cemas dan gelisah.
c. Penyakit jantung hipertensi.
Kebanyakan dengan bertambahnya usia
seseorang, maka tensi atau tekanan darahnya akan mengalami kenaikan. Berbagai
penelitian telah dilakukan dan disimpulkan bahwa di Indonesia rata-rata
hipertensi (kanaikan tekanan darah) berkisar 5 - 10% dan menjadi lebih dari 20%
jika sudah memasuki usia 50 tahun keatas. Hipertensi sistolik pada mulanya
dianggap suatu gangguan kecil, akan tetapi sekarang ini telah diakui sebagai
pemegang peranan yang besar sebagai faktor resiko serangan jantung.
Pada usia lanjut tekanan darah
cenderung mengalami labilitas dan mudah mengalami hipotensi (tekanan darah
rendah). Untuk itu dianjurkan selalu mengukur tekanan darah pada waktu periksa
maupun saat kontrol pengobatan. Apabila tidak dilakukan kontrol rutin terhadap
tekanan darah, akan memperbesar terjadinya penyakit jantung hipertensi.
d. Penyakit Gagal Jantung.
Gagal jantung adalah
ketidaksanggupan jantung memompa darah untuk kebutuhan tubuh. Kegagalan ini
biasanya terjadi pada bilik kiri yang merupakan ruangan jantung yang bekerja
paling besar. Akan tetapi kadang juga terjadi pada bilik kanan atau bahkan
keduanya mengalami kegagalan dalam waktu yang bersamaan.
Penyebab dari timbulnya gagal
jantung adalah:
i. Otot jantung abnormal,
sehingga terjadi serangan jantung.
ii. Aliran darah terlalu
sedikit yang mengalir ke jantung karena terjadinya pengerasan pembuluh darah.
iii. Gangguan mekanisme yang
mengurangi pengisian darah didalam ventrikel (bilik).
iv. Kerusakan aliran darah yang
mengganggu daya pompa jantung.
Gejala gagal jantung kiri
mengakibatkan pernapasan memendek, kesulitan bernapas kecuali bila berdiri
tegak lurus, bersin, batuk, kekurangan oksigen dibadan, kulit pucat atau
kebiru-biruan, ritme jantung ireguler dan tekanan darah meningkat.
Gejala gagal jantung kanan
mengakibatkan kaki bengkak, hati dan limpa membesar, pembekakan vena di leher,
pembentukan cairan di lambung, perut busung, penurunan berat badan, ritme
jantung ireguler, mual, muntah, nafsu makan berkurang, kelelahan, gelisah, dan bisa
pingsan.
Untuk
mencegah terjadinya gagal jantung, penderita dianjurkan: menghindari makanan
yang mengandung garam, dan banyak memakan makanan yang mengandung kalium
(pisang, aprikot dan jus jeruk).
Hipertensi atau penyakit darah
tinggi merupakan penyebab terbesar dari penyakit jantung. ''Bahkan, 75%
penderita hipertensi akan berujung pada penyakit jantung dan baru tersadari
pada lanjut usia, ketika jantung telah 'lelah' bekerja untuk memompa darah
dengan tekanan yang berat,'' ujar dr Hisyam Attamimi, ahli jantung dan pembuluh
darah pada RSU Kraton, Pekalongan, pada talk show Hidup Sehat ala
Eksekutif yang diselenggarakan Laboratorium Klinik Cito di Hotel Istana, Sabtu
lalu.
Kabag Pemasaran Laboratorium Klinik Cito Pusat Semarang, Dra Dyah Puspitawati menjelaskan, banyak eksekutif yang mengejar prestasi, tapi tak sedikit yang melupakan kesehatannya. Akibatnya, meski belum lama menduduki jabatan eksekutif, perutnya sudah membuncit. Mendadak terserang hipertensi dan penyakit lain yang tak disadari semasa sehat. Karena itu, Cito berkepentingan untuk memikirkan kesehatan masyarakat secara luas. Hadir sebagai konsultan Cito, Dr P Kusnanto Sp PD.
Menurut dr Hisyam Attamimi, diabetes mellitus/kencing manis, merusak hampir seluruh pembuluh darah tubuh, termasuk pembuluh darah koroner jantung dan merusak otot pompa jantung serta organ tubuh lainnya. ''Efek gangguan dari penyakit kencing manis ini dapat lebih mudah dimengerti dengan menggambarkan penyakit ini dengan simbol penyakit gula yaitu 'rayap','' ungkapnya.
Selain itu, kata Hisyam, perokok secara statistik 90% penderita jantung koroner, yaitu perokok berat. Diduga rokok merusak pembuluh darah yang ada dan akhirnya menyebabkan penyakit jantung. ''Perlu juga diketahui, rokok pun penyebab kanker paru terbesar pada pria,'' tambahnya.
Risiko ke Empat
Di bagian lain, menjawab pertanyaan peserta yang kebanyakan para eksekutif muda itu, dr Hisyam Attamimi menjelaskan, gangguan lemak atau hipercholesterol merupakan faktor risiko ke empat penyakit jantung. Hal ini disebabkan oleh makan yang berlebihan, dengan komposisi lemak yang tidak berimbang. ''Kelebihan kolesterol ini akan menyebabkan timbunan lemak pada pembuluh darah sehingga akan mengganggu jantung,'' paparnya.
Dr Hisyam mengatakan, pengobatan hipertensi yang mengarah ke penyakit jantung tergantung pada penyebab yang disebut tadi dan juga obat-obat yang membantu kerja jantung. Makan makanan yang rendah kadar garamnya, hidup santai dan cukup olahraga. Untuk diabetes, diet pantang gula dan makan dalam porsi cukup serta stop merokok, pantang makanan berlemak, periksa tekanan darah, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida, serta gula darah secara teratur.(E1-34i )
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0309/08/dar3.htm
Kabag Pemasaran Laboratorium Klinik Cito Pusat Semarang, Dra Dyah Puspitawati menjelaskan, banyak eksekutif yang mengejar prestasi, tapi tak sedikit yang melupakan kesehatannya. Akibatnya, meski belum lama menduduki jabatan eksekutif, perutnya sudah membuncit. Mendadak terserang hipertensi dan penyakit lain yang tak disadari semasa sehat. Karena itu, Cito berkepentingan untuk memikirkan kesehatan masyarakat secara luas. Hadir sebagai konsultan Cito, Dr P Kusnanto Sp PD.
Menurut dr Hisyam Attamimi, diabetes mellitus/kencing manis, merusak hampir seluruh pembuluh darah tubuh, termasuk pembuluh darah koroner jantung dan merusak otot pompa jantung serta organ tubuh lainnya. ''Efek gangguan dari penyakit kencing manis ini dapat lebih mudah dimengerti dengan menggambarkan penyakit ini dengan simbol penyakit gula yaitu 'rayap','' ungkapnya.
Selain itu, kata Hisyam, perokok secara statistik 90% penderita jantung koroner, yaitu perokok berat. Diduga rokok merusak pembuluh darah yang ada dan akhirnya menyebabkan penyakit jantung. ''Perlu juga diketahui, rokok pun penyebab kanker paru terbesar pada pria,'' tambahnya.
Risiko ke Empat
Di bagian lain, menjawab pertanyaan peserta yang kebanyakan para eksekutif muda itu, dr Hisyam Attamimi menjelaskan, gangguan lemak atau hipercholesterol merupakan faktor risiko ke empat penyakit jantung. Hal ini disebabkan oleh makan yang berlebihan, dengan komposisi lemak yang tidak berimbang. ''Kelebihan kolesterol ini akan menyebabkan timbunan lemak pada pembuluh darah sehingga akan mengganggu jantung,'' paparnya.
Dr Hisyam mengatakan, pengobatan hipertensi yang mengarah ke penyakit jantung tergantung pada penyebab yang disebut tadi dan juga obat-obat yang membantu kerja jantung. Makan makanan yang rendah kadar garamnya, hidup santai dan cukup olahraga. Untuk diabetes, diet pantang gula dan makan dalam porsi cukup serta stop merokok, pantang makanan berlemak, periksa tekanan darah, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida, serta gula darah secara teratur.(E1-34i )
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0309/08/dar3.htm
Rabu, 23 Desember 2009
Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada
populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan
memperberat penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner,
stroke, nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular
akibat diabetes, yang meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi (Bakri,
dkk., 2004). Hipertensi merupakan faktor utama dari harapan hidup dan
komplikasi pada pasien diabetes dan menentukan evaluasi dari nepropati
dan retinopati penderita diabetes khususnya. Pasien dengan diabetes tipe 1 biasanya normontensif dari adanya nepropati, tetapi tekanan darah meningkat di tahun pertama hingga kedua setelah serangan nepropati pertama. Jadi, hipertensi pada pasien dengan diabetes tipe 2 biasanya berasal dari parensimal ginjal (Saseen dan Carter, 2005a). Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensinsulin telah diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium (Gray, dkk., 2006). Hubungan antara hipertensi dan diabetes tipe 2 lebih kompleks dan tidak berkaitan dengan nepropati. Pada diabetes tipe 2, hipertensi seringkali bagian dari sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul selama beberapa tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul. Hiperinsulinemia memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan ekskresi sodium pada ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui hipertropi vaskular. Penatalaksanaan yang giat dari hipertensi (<130/80 mmHg) mengurangi perkembangan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (Saseen dan Carter, 2005a).
dan retinopati penderita diabetes khususnya. Pasien dengan diabetes tipe 1 biasanya normontensif dari adanya nepropati, tetapi tekanan darah meningkat di tahun pertama hingga kedua setelah serangan nepropati pertama. Jadi, hipertensi pada pasien dengan diabetes tipe 2 biasanya berasal dari parensimal ginjal (Saseen dan Carter, 2005a). Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensinsulin telah diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium (Gray, dkk., 2006). Hubungan antara hipertensi dan diabetes tipe 2 lebih kompleks dan tidak berkaitan dengan nepropati. Pada diabetes tipe 2, hipertensi seringkali bagian dari sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul selama beberapa tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul. Hiperinsulinemia memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan ekskresi sodium pada ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui hipertropi vaskular. Penatalaksanaan yang giat dari hipertensi (<130/80 mmHg) mengurangi perkembangan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (Saseen dan Carter, 2005a).
Dalam United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), reduksi 5 mmHg
dalam tekanan darah diastolik rata-rata menghasilkan reduksi komplikasi
mikrovaskular sebesar 37%. Banyak pasien yang membutuhkan dua atau tiga
pengobatan untuk mencapai target tekanan darah <130/80 mmHg. Reduksi tahanan
dan latihan menurunkan resistensi insulin (hiperinsulinemia) dan akan
mempengaruhi terhadap pengobatan dalam merendahkan tekanan darah. Diet retriksi
sodium mengenai peningkatan total sodium tubuh yang terdapat dalam pasien ini
untuk meningkatkan retensi sodium (Saseen dan Carter, 2005a).
Tatalaksana Terapi Pada Komplikasi Hipertensi Dengan
Diabetes
Mellitus.
a. Terapi non farmakologi
Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi sendiri serta akibat diabetesnya. Dalam penanganan hipertensi pada diabetes mellitus, diperlukan perhatian khusus oleh karena penyandang diabetes mellitus mempunyai problem khusus seperti nefropati, retinopati, gangguan serebrovasakular, obesitas, hiperinsulinemia, hipokalemia, hiperkalemia, impotensi, penyakit vaskular perifer, neuropati autonom, dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan berolah raga (Bakri, 2004).
Mellitus.
a. Terapi non farmakologi
Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi sendiri serta akibat diabetesnya. Dalam penanganan hipertensi pada diabetes mellitus, diperlukan perhatian khusus oleh karena penyandang diabetes mellitus mempunyai problem khusus seperti nefropati, retinopati, gangguan serebrovasakular, obesitas, hiperinsulinemia, hipokalemia, hiperkalemia, impotensi, penyakit vaskular perifer, neuropati autonom, dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan berolah raga (Bakri, 2004).
b. Terapi farmakologi
Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat. Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya memenuhi syarat- syarat yaitu :
1). Efektif menurunkan tekanan darah
2). Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipo-hiperglikemia.
3). Tidak mempengaruhi fraksi lipid.
4). Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,tidak meningkatkan risiko impotensi.
5). Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Bakri, dkk., 2004).
Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan
diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
(1) ACE Inhibitor.
ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini merupakan pilihan pertama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes. Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukkan penurunan hipertensi yang berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung, peningkatan penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter, 2005a).
Beberapa studi mengatakan bahwa ACE inhibitor mungkin lebih efektif mengurangi risiko kardiovaskular dari anti hipertensi lain. Pada diabetes tipe 2 ACE inhibitor lebih baik dari CCBs, bagaimanapun satu dari penelitian UKPDS menemukan captropil sebanding dengan atenolol dalam mencegah kejadiaan kardiovaskular pada pasien diabetes tipe 2. ACE inhibitor mengurangi kematian dan kesakitan pada pasien dengan gagal ginjal dan mengurangi penyakit gagal ginjal kronik. Selain itu ACE inhibitor mengurangi aldosteron dan meningkatkan konsentrasi potasium (Saseen dan Carter, 2005b). ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat mengurangi proteinuria. Juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek pada lipid atau urat dalam serum (Gray, dkk., 2006). Keuntungan tersebut diduga terjadi karena perbaikan hemodinamika intrarenal, dengan penurunan tahanan arterioler eferen glomeruler dan hasil penurunan tekanan kapiler intraglomeruler (Benowitz, 2002). Angiotensin-converting Enzyme inhibitor (ACE inhibitor) merupakan Obat
yang mempunyai efek vasodilator yang membantu menurunkan tekanan darah dengan menghambat substansi dalam darah yang menyebabkan pembuluh darah akan mengerut (konstriksi). Beberapa studi baru-baru ini menyatakan bahwa golongan obat ini lebih baik dari pada lainnya untuk mencegah stroke, penyakit jantung dan penyakit ginjal pada pasien-pasien (terutama mereka yang diabetes) dengan faktor risiko untuk penyakit vaskular / pembuluh darah. Obat-obatan ini juga bermanfaat pada pasien dengan yang telah menderita penyakit jantung (Anonim, 2003).
Studi Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) telah menilai sekitar 9.000 pasien yang pada risiko tinggi untuk kardiovaskular atau mempunyai sakit diabetes selama 4 sampai 6 tahun. Mereka mengacak ramipril (hingga 10 mg tiap hari) atau placebo. Sangat menarik, pasien ini tidak perlu semua yang punya hipertensi (139/77 mmHg). Kebanyakan dari pasien berisiko tinggi ini mempunyai CAD (Coronary Artery Diease) (81%), hiperkolesterolemia (66%), MI (Myocardial Infarction) sebelumnya (53%), atau diabetes (38%, kebanyakan tipe 2). Titik akhir utama (komposit dari MI, stroke, atau kematian karena kardiovaskular) berkurang 32% dengan ramipril (P<0,001). Substudi HOPE menunjukkan bahwa pada 3.577 pasien diabetes, ramipril mengurangi kardiovaskular secara signifikan dan neuropati yang jelas. United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) mengelompokkan diabetes tipe 2 dalam beberapa pemeriksaan klinis. Sama dengan penemuan dari pemeriksaan yang lain, komplikasi berkurang dengan kadar tekanan darah yang lebih rendah. Keuntungan tambahan dari ACE inhibitor pada diabetes adalah ACE inhibitor tidak mempunyai efek biokimia yang merugikan pada regulasi glukosa seperti agen yang lainnya. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa ACE inhibitor lebih baik jika dibandingkan diuretik dalam mengurangi risiko kardiovaskular pada diabetes. Demikian pula, ketika ACE inhibitor secara langsung dibandingkan dengan CCB, ACE inhibitor menunjukkan reduksi yang lebih baik pada kardiovaskular. Hasil dari Fosinopril versus Amlodpine Cardiovaskular Events Randomized Trial (FACET) dan pemeriksaan Appropriate Blood pressure Control in Diabetes (ABCD) menunjukkan bahwa ACE inhibitor lebih mencegah kardiovaskular dibandingkan CCB (Saseen dan Carter, 2005a).
Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat. Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya memenuhi syarat- syarat yaitu :
1). Efektif menurunkan tekanan darah
2). Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipo-hiperglikemia.
3). Tidak mempengaruhi fraksi lipid.
4). Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,tidak meningkatkan risiko impotensi.
5). Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Bakri, dkk., 2004).
Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan
diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
(1) ACE Inhibitor.
ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini merupakan pilihan pertama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes. Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukkan penurunan hipertensi yang berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung, peningkatan penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter, 2005a).
Beberapa studi mengatakan bahwa ACE inhibitor mungkin lebih efektif mengurangi risiko kardiovaskular dari anti hipertensi lain. Pada diabetes tipe 2 ACE inhibitor lebih baik dari CCBs, bagaimanapun satu dari penelitian UKPDS menemukan captropil sebanding dengan atenolol dalam mencegah kejadiaan kardiovaskular pada pasien diabetes tipe 2. ACE inhibitor mengurangi kematian dan kesakitan pada pasien dengan gagal ginjal dan mengurangi penyakit gagal ginjal kronik. Selain itu ACE inhibitor mengurangi aldosteron dan meningkatkan konsentrasi potasium (Saseen dan Carter, 2005b). ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat mengurangi proteinuria. Juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek pada lipid atau urat dalam serum (Gray, dkk., 2006). Keuntungan tersebut diduga terjadi karena perbaikan hemodinamika intrarenal, dengan penurunan tahanan arterioler eferen glomeruler dan hasil penurunan tekanan kapiler intraglomeruler (Benowitz, 2002). Angiotensin-converting Enzyme inhibitor (ACE inhibitor) merupakan Obat
yang mempunyai efek vasodilator yang membantu menurunkan tekanan darah dengan menghambat substansi dalam darah yang menyebabkan pembuluh darah akan mengerut (konstriksi). Beberapa studi baru-baru ini menyatakan bahwa golongan obat ini lebih baik dari pada lainnya untuk mencegah stroke, penyakit jantung dan penyakit ginjal pada pasien-pasien (terutama mereka yang diabetes) dengan faktor risiko untuk penyakit vaskular / pembuluh darah. Obat-obatan ini juga bermanfaat pada pasien dengan yang telah menderita penyakit jantung (Anonim, 2003).
Studi Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) telah menilai sekitar 9.000 pasien yang pada risiko tinggi untuk kardiovaskular atau mempunyai sakit diabetes selama 4 sampai 6 tahun. Mereka mengacak ramipril (hingga 10 mg tiap hari) atau placebo. Sangat menarik, pasien ini tidak perlu semua yang punya hipertensi (139/77 mmHg). Kebanyakan dari pasien berisiko tinggi ini mempunyai CAD (Coronary Artery Diease) (81%), hiperkolesterolemia (66%), MI (Myocardial Infarction) sebelumnya (53%), atau diabetes (38%, kebanyakan tipe 2). Titik akhir utama (komposit dari MI, stroke, atau kematian karena kardiovaskular) berkurang 32% dengan ramipril (P<0,001). Substudi HOPE menunjukkan bahwa pada 3.577 pasien diabetes, ramipril mengurangi kardiovaskular secara signifikan dan neuropati yang jelas. United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) mengelompokkan diabetes tipe 2 dalam beberapa pemeriksaan klinis. Sama dengan penemuan dari pemeriksaan yang lain, komplikasi berkurang dengan kadar tekanan darah yang lebih rendah. Keuntungan tambahan dari ACE inhibitor pada diabetes adalah ACE inhibitor tidak mempunyai efek biokimia yang merugikan pada regulasi glukosa seperti agen yang lainnya. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa ACE inhibitor lebih baik jika dibandingkan diuretik dalam mengurangi risiko kardiovaskular pada diabetes. Demikian pula, ketika ACE inhibitor secara langsung dibandingkan dengan CCB, ACE inhibitor menunjukkan reduksi yang lebih baik pada kardiovaskular. Hasil dari Fosinopril versus Amlodpine Cardiovaskular Events Randomized Trial (FACET) dan pemeriksaan Appropriate Blood pressure Control in Diabetes (ABCD) menunjukkan bahwa ACE inhibitor lebih mencegah kardiovaskular dibandingkan CCB (Saseen dan Carter, 2005a).
(2) Angiotensi II Reseptor Blocker (ARB).
ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan kondisi diabetes (Vijan dan hayward., 2003). ARB lebih disukai sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi pada diabetes. Secara farmakologis, ARB akan memberikan neproproteksi pada vasodilasi dalam efferent arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensitifitas insulin. Semua pasien diabetes dan hipertensi seharusnya dirawat dengan resimen antihipertensif yaitu ARB (Saseen dan Carter 2005b). Selain itu Angiotensin II adalah vasokonstriktor dan memacu produksi aldosteron, sehingga menyekat produksinya (ACE inhibitor) atau terikat pada reseptornya (penyekat reseptor A II), menurunkan resistensi vaskular perifer, dengan efek minimal atau tanpa efek terhadap denyut jantung, atau volume cairan tubuh (Gray, dkk., 2006). ARBs digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati, diabetes tipe 2 dengan protenuria dan kejadiaan penyakit ginjal. ARBs merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal pada pasien diabetes tipe 2 dan nepropati. ADA (American Diabetes Association) merekomendasikan ARBs untuk mengurangi nepropati pada pasien hipertensi, diabetes dan protenuria (Saseen dan Carter, 2005b).
Angiotensin II reseptor blocker (ARB) merupakan golongan obat baru ini menunjukkan hasil yang cukup baik dan menjanjikan dalam menurunkan komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Mereka mempunyai efek yang mirip dengan ACE inhibitor meskipun lebih spesifik pada aksinya dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Meskipun penyekat beta, ACE inhibitor dan diuretik pada saat ini lebih sering digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, angiotensin II reseptor blocker nampaknya akan lebih banyak lagi diresepkan di masa datang (Anonim, 2003).
(3) Diuretics
Perubahan metabolisme glukosa merupakan suatu komplikasi yang telah dikenal dari terapi diuretik, tetapi responya bermacam-macam. Pasien diabetes dan menunjukkan toleransi glukosa yang merusak kebanyakan eksagregat glukosa meningkat, tetapi efek ini juga terlihat pada pasien tanpa diabetes. Diabetes tidak dikontraindikasi dengan penggunaan diuretik (Saseen dan Carter, 2005a). Salah satu diuretik yang digunakan adalah tiazid yang mana tiazid mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol yang menyebabkan efek hipotensif berkelanjutan (Anonim, 2003).
Tiazide type diuretic adalah aman pada diabetes baik digunakan sendir maupun dikombinasikan. Berdasarkan temuan ini, peneliti di ALLHAT (Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial) terapi yang dimulai dengan kortalidon mengurangi kegagalan pada MI (Myocardial Infarction) untuk terapi yang sama pada penggunaan lisinopril atau amlodipin. Kemungkinan kecenderungan untuk diuretik tipe tiazid adalah memperburuk hiperglikemik, tetapi kecenderungan itu dapat diperkecil dan tidak dapat menimbulkan beberapa kejadian kardiovaskular dibandingkan untuk obatobat golongan lain (Chobanian, dkk., 2004).
Hasil studi ini dalam 5 tahun kemudian, dibandingkan dengan obat lainnya yang digunakan dalam studi ini, diuretik tidak hanya lebih efektif secara signifikan dalam menurunkan tekanan darah, namun juga dalam menurunkan risiko kejadian kardiovaskular (misalnya stroke, angina, gagal jantung). Kategori penghambat alfa dihentikan pada tahun 2000 karena kejadian kardiovaskular dan perawatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan diuretik. Berdasarkan temuan ini, peneliti di ALLHAT (Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial) menyimpulkan bahwa terapi obat-obatan dengan hipertensi sebaiknya dimulai dengan diuretik (Anonim, 2003). Tetapi Efek hiperglisemik dari diuretik tiazid nampaknya menunjukkan hilangnya potasium paralel. Pasien dengan penurunan konsentrasi serum potasium menunjukkan lebih mengganggu toleransi glukosa, dan suplementasi potasium dapat mencegah tiasida yang memicu hiperglisemia. Mempertahankan konsentrasi potasium serum normal pada pasien yang dirawat dengan terapi diuretik merupakan hal yang penting (Saseen dan Carter, 2005b).
(4) Beta Blocker (â-blocker).
â-blocker mengurangi serangan jantung, perkembangan penyakit ginjal, dan stroke pada pasien diabetes. Obat ini dapat menghambat sekresi insulin dan menyebabkan hiperglisemia, tetapi risiko rendah yang relatif dari efek ini biasanya lebih banyak dari pada reduksi potensial pada hipertensi yang berkaitan dengan komplikasi. Jika glukosa darah meningkat, dosis â-blocker dapat dikurangi atau dapat dilakukan terapi diabetes. Semua dapat dilakukan sehingga dapat menutup gejala hipoglisemia yang berkaitan dengan pelepasan epinefrin (misalnya, palpitasi, gemetar, rasa lapar), tetapi tidak mencegah hipoglisemia yang berhubungan dengan berkeringat. Ketika â-blocker tidak menyebabkan hipoglisemia, maka â-blocker dapat memperburuk hipoglisemia dan mungkin memperlambat proses penyembuhan dari hipoglisemia (Saseen dan Carter, 2005a).
Risiko dari pencegahan dan potensiasi hipoglisemia adalah bukan kontraindikasi yang pasti. Walaupun â-blocker merupakan yang paling baik dihindari dalam insulin bebas diabetes tipe 1, â-blocker dapat digunakan jika bahan lain gagal atau jika penyakit yang terjadi bersamaan muncul maka dibenarkan menggunakan â-blocker. Karena hipoglisemia kurang umum bagi pasien diabetes tipe 2 yang mana tidak membutuhkan insulin, â-blocker mungkin kurang menimbulkan efek merugikan pada populasi ini. Semua pasien diabetes yang menggunakan terapi â-blocker harus diawasi secara hati-hati dengan mengukur kadar glukosa secara teratur dan menargetkan pendidikan pasien mengenai bagaimana tanda dan gejala hipoglisemia berubah. â-blocker non selektif harus dihindari pada pasien diabetes yang dikontrol secara ketat, khususnya yang menerima terapi insulin (Saseen dan Carter, 2005a). (4) CCB ( Calcium Channel Blocker). CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensitivitas insulin atau metabolisme glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes dan hipertensi. Bagamanapun, bukti menunjukkan penurunan kardiovaskula dengan CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan sebagaimana antihipertensif yang lain (diuretik, â-blocker, ACE inhibitor, dan ARB). CCB tidak nampak berbahaya bagi manusia dengan penyakit diabetes, dan reduksi stroke adalah keuntungan yang tebukti. Meskipun demikian, CCB dianggap sebagai bahan kedua setelah diuretik tipe tiasid, â-blocker, inhibitor ACE, dan ARB. Target tekanan darah pada diabetes adalah <130/80 mmHg Karena kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini, khususnya bila dikombinasikan dengan bahan lain (Saseen dan Carter, 2005a).
ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan kondisi diabetes (Vijan dan hayward., 2003). ARB lebih disukai sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi pada diabetes. Secara farmakologis, ARB akan memberikan neproproteksi pada vasodilasi dalam efferent arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensitifitas insulin. Semua pasien diabetes dan hipertensi seharusnya dirawat dengan resimen antihipertensif yaitu ARB (Saseen dan Carter 2005b). Selain itu Angiotensin II adalah vasokonstriktor dan memacu produksi aldosteron, sehingga menyekat produksinya (ACE inhibitor) atau terikat pada reseptornya (penyekat reseptor A II), menurunkan resistensi vaskular perifer, dengan efek minimal atau tanpa efek terhadap denyut jantung, atau volume cairan tubuh (Gray, dkk., 2006). ARBs digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati, diabetes tipe 2 dengan protenuria dan kejadiaan penyakit ginjal. ARBs merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal pada pasien diabetes tipe 2 dan nepropati. ADA (American Diabetes Association) merekomendasikan ARBs untuk mengurangi nepropati pada pasien hipertensi, diabetes dan protenuria (Saseen dan Carter, 2005b).
Angiotensin II reseptor blocker (ARB) merupakan golongan obat baru ini menunjukkan hasil yang cukup baik dan menjanjikan dalam menurunkan komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Mereka mempunyai efek yang mirip dengan ACE inhibitor meskipun lebih spesifik pada aksinya dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Meskipun penyekat beta, ACE inhibitor dan diuretik pada saat ini lebih sering digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, angiotensin II reseptor blocker nampaknya akan lebih banyak lagi diresepkan di masa datang (Anonim, 2003).
(3) Diuretics
Perubahan metabolisme glukosa merupakan suatu komplikasi yang telah dikenal dari terapi diuretik, tetapi responya bermacam-macam. Pasien diabetes dan menunjukkan toleransi glukosa yang merusak kebanyakan eksagregat glukosa meningkat, tetapi efek ini juga terlihat pada pasien tanpa diabetes. Diabetes tidak dikontraindikasi dengan penggunaan diuretik (Saseen dan Carter, 2005a). Salah satu diuretik yang digunakan adalah tiazid yang mana tiazid mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol yang menyebabkan efek hipotensif berkelanjutan (Anonim, 2003).
Tiazide type diuretic adalah aman pada diabetes baik digunakan sendir maupun dikombinasikan. Berdasarkan temuan ini, peneliti di ALLHAT (Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial) terapi yang dimulai dengan kortalidon mengurangi kegagalan pada MI (Myocardial Infarction) untuk terapi yang sama pada penggunaan lisinopril atau amlodipin. Kemungkinan kecenderungan untuk diuretik tipe tiazid adalah memperburuk hiperglikemik, tetapi kecenderungan itu dapat diperkecil dan tidak dapat menimbulkan beberapa kejadian kardiovaskular dibandingkan untuk obatobat golongan lain (Chobanian, dkk., 2004).
Hasil studi ini dalam 5 tahun kemudian, dibandingkan dengan obat lainnya yang digunakan dalam studi ini, diuretik tidak hanya lebih efektif secara signifikan dalam menurunkan tekanan darah, namun juga dalam menurunkan risiko kejadian kardiovaskular (misalnya stroke, angina, gagal jantung). Kategori penghambat alfa dihentikan pada tahun 2000 karena kejadian kardiovaskular dan perawatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan diuretik. Berdasarkan temuan ini, peneliti di ALLHAT (Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial) menyimpulkan bahwa terapi obat-obatan dengan hipertensi sebaiknya dimulai dengan diuretik (Anonim, 2003). Tetapi Efek hiperglisemik dari diuretik tiazid nampaknya menunjukkan hilangnya potasium paralel. Pasien dengan penurunan konsentrasi serum potasium menunjukkan lebih mengganggu toleransi glukosa, dan suplementasi potasium dapat mencegah tiasida yang memicu hiperglisemia. Mempertahankan konsentrasi potasium serum normal pada pasien yang dirawat dengan terapi diuretik merupakan hal yang penting (Saseen dan Carter, 2005b).
(4) Beta Blocker (â-blocker).
â-blocker mengurangi serangan jantung, perkembangan penyakit ginjal, dan stroke pada pasien diabetes. Obat ini dapat menghambat sekresi insulin dan menyebabkan hiperglisemia, tetapi risiko rendah yang relatif dari efek ini biasanya lebih banyak dari pada reduksi potensial pada hipertensi yang berkaitan dengan komplikasi. Jika glukosa darah meningkat, dosis â-blocker dapat dikurangi atau dapat dilakukan terapi diabetes. Semua dapat dilakukan sehingga dapat menutup gejala hipoglisemia yang berkaitan dengan pelepasan epinefrin (misalnya, palpitasi, gemetar, rasa lapar), tetapi tidak mencegah hipoglisemia yang berhubungan dengan berkeringat. Ketika â-blocker tidak menyebabkan hipoglisemia, maka â-blocker dapat memperburuk hipoglisemia dan mungkin memperlambat proses penyembuhan dari hipoglisemia (Saseen dan Carter, 2005a).
Risiko dari pencegahan dan potensiasi hipoglisemia adalah bukan kontraindikasi yang pasti. Walaupun â-blocker merupakan yang paling baik dihindari dalam insulin bebas diabetes tipe 1, â-blocker dapat digunakan jika bahan lain gagal atau jika penyakit yang terjadi bersamaan muncul maka dibenarkan menggunakan â-blocker. Karena hipoglisemia kurang umum bagi pasien diabetes tipe 2 yang mana tidak membutuhkan insulin, â-blocker mungkin kurang menimbulkan efek merugikan pada populasi ini. Semua pasien diabetes yang menggunakan terapi â-blocker harus diawasi secara hati-hati dengan mengukur kadar glukosa secara teratur dan menargetkan pendidikan pasien mengenai bagaimana tanda dan gejala hipoglisemia berubah. â-blocker non selektif harus dihindari pada pasien diabetes yang dikontrol secara ketat, khususnya yang menerima terapi insulin (Saseen dan Carter, 2005a). (4) CCB ( Calcium Channel Blocker). CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensitivitas insulin atau metabolisme glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes dan hipertensi. Bagamanapun, bukti menunjukkan penurunan kardiovaskula dengan CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan sebagaimana antihipertensif yang lain (diuretik, â-blocker, ACE inhibitor, dan ARB). CCB tidak nampak berbahaya bagi manusia dengan penyakit diabetes, dan reduksi stroke adalah keuntungan yang tebukti. Meskipun demikian, CCB dianggap sebagai bahan kedua setelah diuretik tipe tiasid, â-blocker, inhibitor ACE, dan ARB. Target tekanan darah pada diabetes adalah <130/80 mmHg Karena kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini, khususnya bila dikombinasikan dengan bahan lain (Saseen dan Carter, 2005a).
http://etd.eprints.ums.ac.id/991/1/K100040132.pdf
Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian pada
eklampsia. Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara langsung
dengan derajat peningkatan tekanan darah sistolik dan sedikit berhubungan
dengan tekanan darah diastolik. Terapi emergensi pada keadaan terjadinya
peningkatan tekanan darah tersebut masih belum jelas. Sebagian besar peneliti
menganjurkan untuk menggunakan anti hipertensi yang poten untuk mengatasi
tekanan darah diastolik pada kadar 105-110 mmHg dan tekanan darah sistolik >
160 mmHg, walaupun hal ini belum diuji secara prospektif. Pada wanita yang
telah mengalami hipertensi kronik, pembuluh darah otaknya lebih toleran
terhadap tekanan darah sistolik yang lebih tinggi tanpa terjadinya kerusakan
pada pembuluh darahnya, sedangkan pada orang dewasa dengan tekanan darah yang
normal atau rendah mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai pada kadar
tekanan darah yang lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat dan
persisten (>160/110 mmHg) harus diatasi untuk mencegah perdarahan
serebrovaskular. Penatalaksanaannya termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV,
diikuti dengan pemberian 5-10 mg bolus sesuai kebutuhan dalam waktu 20 menit)
atau labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap 10-20 menit dengan dosis ganda,
namun tidak lebih dari 80 mg pada dosis tunggal, dengan dosis kumulatif total
300 mg). Pada keadaan yang tidak menunjukkan perbaikan dengan segera setelah
mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau mereka yang memiliki
kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut.
http://digilib.unsri.ac.id/download/KOMPLIKASI%20AKUT%20PADA%20PREEKLAMPSIA.pdf
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya terapi hipertensi pada
lanjut usia; dimana terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Sebelum diberikan pengobatan, pemeriksaan
tekanan darah pada lanjut usia hendaknya dengan perhatian khusus, mengingat
beberapa orang lanjut usia menunjukkan pseudohipertensi (pembacaan
spigmomanometer tinggi palsu) akibat kekakuan pembuluh darah yang berat.
Khususnya pada perempuan sering ditemukan hipertensi jas putih dan sangat
bervariasinya TDS.
a. Sasaran tekanan darah
Pada hipertensi lanjut usia, penurunan TDD hendaknya mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan pada JNCVI dimana pengendalian tekanan darah (TDS<140 mmHg dan TDD<90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut usia. Sys-Eur trial merekomendasikan penurunan TDS < 160 mmHg sebagai sasaran intermediet tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan darah awal.
b. Modifikasi pola hidup
Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua penderita, sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah :
menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alcohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.
c. Terapi farmakologis
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam memberikan obat antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan. Menurut JNC VI1 pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic atau penyekat beta. Pada HST, direkomendasikan penggunaan diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun demikian terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan ptlihan terbaik. Obat-obatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah postural (penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik dosis tinggi) atau obatobatan yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis a 2 sentral) harus diberikan dengan hati-hati.' karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan obat lainnya. Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi misalnya : obat anti psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol. Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah: kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah: (a) tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas meningkat, karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta: verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung; digoksin memperberat bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia.2 Dosis beberapa obat diuretic penyekat beta, penghambat ACE, penyekat kanal kalsium, dan penyakat alfa yang dianjurkan pda penderita hipertensi pada lanjut usia adalah sebagai berikut. Dosis obat-obat diuretic (mg/hari) msialnya: bendrofluazid 1,25-2,5, klortiazid 500-100, klortalidon 25-50,hidroklortiazid 12,5-25, dan indapamid SR 1,5. Dosis obat-oabat penyekat beta yang direkomendasikan adalah: asebutolol 400 mg sekali atau dua kali sehari, atenolol 50 mg sekali sehari, bisoprolol 10-20 mg sekali sehari, celiprolol 200-400 mg sekali sehari, metoprolol 100-2000 mg sekali sehari, oksprenolol 180-120 mg dua kali sehari, dan pindolol 15-45 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penghambat ACE yang direkomendasikan adalah: kaptopril 6,25-50 mg tiga kali sehari, lisinopril 2,5-40 mg sekali sehari, perindropil 2-8 mg sekali sehari, quinapril 2,5-40 mg sekali sehari, ramipril 1,25-10 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penyakat kanal kalsium yang dianjurkan adalah: amlodipin 5-10 mg sekali sehari, diltiazem 200 mg sekai sehari, felodipin 5-20 mg sekali sehari, nikardipin 30 mg dua kali sehari, nifedipin 30-60 mg sekali sehari, verapamil 120-240 mg dua kali sehari. Dosis obat-obat penyakat alfa yang dianjurkan adalah; doksazosin 1-16 mg sekali sehari, dan prazosin 0,5 mg sehari sampai 10 mg dua kali sehari.
Pada hipertensi lanjut usia, penurunan TDD hendaknya mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan pada JNCVI dimana pengendalian tekanan darah (TDS<140 mmHg dan TDD<90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut usia. Sys-Eur trial merekomendasikan penurunan TDS < 160 mmHg sebagai sasaran intermediet tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan darah awal.
b. Modifikasi pola hidup
Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua penderita, sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah :
menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alcohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.
c. Terapi farmakologis
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam memberikan obat antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan. Menurut JNC VI1 pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic atau penyekat beta. Pada HST, direkomendasikan penggunaan diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun demikian terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan ptlihan terbaik. Obat-obatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah postural (penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik dosis tinggi) atau obatobatan yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis a 2 sentral) harus diberikan dengan hati-hati.' karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan obat lainnya. Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi misalnya : obat anti psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol. Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah: kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah: (a) tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas meningkat, karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta: verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung; digoksin memperberat bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia.2 Dosis beberapa obat diuretic penyekat beta, penghambat ACE, penyekat kanal kalsium, dan penyakat alfa yang dianjurkan pda penderita hipertensi pada lanjut usia adalah sebagai berikut. Dosis obat-obat diuretic (mg/hari) msialnya: bendrofluazid 1,25-2,5, klortiazid 500-100, klortalidon 25-50,hidroklortiazid 12,5-25, dan indapamid SR 1,5. Dosis obat-oabat penyekat beta yang direkomendasikan adalah: asebutolol 400 mg sekali atau dua kali sehari, atenolol 50 mg sekali sehari, bisoprolol 10-20 mg sekali sehari, celiprolol 200-400 mg sekali sehari, metoprolol 100-2000 mg sekali sehari, oksprenolol 180-120 mg dua kali sehari, dan pindolol 15-45 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penghambat ACE yang direkomendasikan adalah: kaptopril 6,25-50 mg tiga kali sehari, lisinopril 2,5-40 mg sekali sehari, perindropil 2-8 mg sekali sehari, quinapril 2,5-40 mg sekali sehari, ramipril 1,25-10 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penyakat kanal kalsium yang dianjurkan adalah: amlodipin 5-10 mg sekali sehari, diltiazem 200 mg sekai sehari, felodipin 5-20 mg sekali sehari, nikardipin 30 mg dua kali sehari, nifedipin 30-60 mg sekali sehari, verapamil 120-240 mg dua kali sehari. Dosis obat-obat penyakat alfa yang dianjurkan adalah; doksazosin 1-16 mg sekali sehari, dan prazosin 0,5 mg sehari sampai 10 mg dua kali sehari.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/penatalaksanaan%20hipertensi%20pada%20lanjut%20us1a%20(dr%20ra%20tuty%20k).pdf
Penyakit
darah tinggi atau Hipertensi (Hypertension) adalah
suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas
normal yang ditunjukkan oleh angka systolic (bagian atas) dan angka bawah
(diastolic) pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan
darah baik yang berupa cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital
lainnya.
Nilai normal tekanan darah seseorang dengan ukuran tinggi badan, berat badan, tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHG. Dalam aktivitas sehari-hari, tekanan darah normalnya adalah dengan nilai angka kisaran stabil. Tetapi secara umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan meningkat diwaktu beraktifitas atau berolahraga.
Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara teratur (rutin), maka hal ini dapat membawa si penderita kedalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah tinggi yang terus menerus menyebabkan jantung seseorang bekerja extra keras, akhirnya kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata. Penyakit hypertensi ini merupakan penyebab umum terjadinya stroke dan serangan jantung (Heart attack).
Penyakit darah tinggi atau Hipertensi dikenal dengan 2 type klasifikasi, diantaranya Hipertensi Primary dan Hipertensi Secondary :
Nilai normal tekanan darah seseorang dengan ukuran tinggi badan, berat badan, tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHG. Dalam aktivitas sehari-hari, tekanan darah normalnya adalah dengan nilai angka kisaran stabil. Tetapi secara umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan meningkat diwaktu beraktifitas atau berolahraga.
Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara teratur (rutin), maka hal ini dapat membawa si penderita kedalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah tinggi yang terus menerus menyebabkan jantung seseorang bekerja extra keras, akhirnya kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata. Penyakit hypertensi ini merupakan penyebab umum terjadinya stroke dan serangan jantung (Heart attack).
Penyakit darah tinggi atau Hipertensi dikenal dengan 2 type klasifikasi, diantaranya Hipertensi Primary dan Hipertensi Secondary :
· Hipertensi
Primary
Hipertensi Primary adalah suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan. Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan darah tinggi. Begitu pula sesorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi.
Hipertensi Primary adalah suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan. Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan darah tinggi. Begitu pula sesorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi.
·
Hipertensi Secondary
Hipertensi secondary adalah suatu kondisi dimana terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi sebagai akibat seseorang mengalami/menderita penyakit lainnya seperti gagal jantung, gagal ginjal, atau kerusakan sistem hormon tubuh. Sedangkan pada Ibu hamil, tekanan darah secara umum meningkat saat kehamilan berusia 20 minggu. Terutama pada wanita yang berat badannya di atas normal atau gemuk (gendut).
Pregnancy-induced hypertension (PIH), ini adalah sebutan dalam istilah kesehatan (medis) bagi wanita hamil yang menderita hipertensi. Kondisi Hipertensi pada ibu hamil bisa sedang ataupun tergolang parah/berbahaya, Seorang ibu hamil dengan tekanan darah tinggi bisa mengalami Preeclampsia dimasa kehamilannya itu.
Preeclampsia adalah kondisi seorang wanita hamil yang mengalami hipertensi, sehingga merasakan keluhan seperti pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri perut, muka yang membengkak, kurang nafsu makan, mual bahkan muntah. Apabila terjadi kekejangan sebagai dampak hipertensi maka disebut Eclamsia.
1. Penyebab Hipertensi
Penggunaan obat-obatan seperti golongan kortikosteroid (cortison) dan beberapa obat hormon, termasuk beberapa obat antiradang (anti-inflammasi) secara terus menerus (sering) dapat meningkatkan tekanan darah seseorang. Merokok juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi dikarenakan tembakau yang berisi nikotin. Minuman yang mengandung alkohol juga termasuk salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tekanan darah tinggi. Stop menjadi alcoholic!
2. Penanganan dan Pengobatan Hipertensi
Hipertensi secondary adalah suatu kondisi dimana terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi sebagai akibat seseorang mengalami/menderita penyakit lainnya seperti gagal jantung, gagal ginjal, atau kerusakan sistem hormon tubuh. Sedangkan pada Ibu hamil, tekanan darah secara umum meningkat saat kehamilan berusia 20 minggu. Terutama pada wanita yang berat badannya di atas normal atau gemuk (gendut).
Pregnancy-induced hypertension (PIH), ini adalah sebutan dalam istilah kesehatan (medis) bagi wanita hamil yang menderita hipertensi. Kondisi Hipertensi pada ibu hamil bisa sedang ataupun tergolang parah/berbahaya, Seorang ibu hamil dengan tekanan darah tinggi bisa mengalami Preeclampsia dimasa kehamilannya itu.
Preeclampsia adalah kondisi seorang wanita hamil yang mengalami hipertensi, sehingga merasakan keluhan seperti pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri perut, muka yang membengkak, kurang nafsu makan, mual bahkan muntah. Apabila terjadi kekejangan sebagai dampak hipertensi maka disebut Eclamsia.
1. Penyebab Hipertensi
Penggunaan obat-obatan seperti golongan kortikosteroid (cortison) dan beberapa obat hormon, termasuk beberapa obat antiradang (anti-inflammasi) secara terus menerus (sering) dapat meningkatkan tekanan darah seseorang. Merokok juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi dikarenakan tembakau yang berisi nikotin. Minuman yang mengandung alkohol juga termasuk salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tekanan darah tinggi. Stop menjadi alcoholic!
2. Penanganan dan Pengobatan Hipertensi
a. Diet Penyakit Darah Tinggi
(Hipertensi)
- Kandungan garam (Sodium/Natrium)
Seseorang yang mengidap penyakit
darah tinggi sebaiknya mengontrol diri dalam mengkonsumsi asin-asinan garam,
ada beberapa tips yang bisa dilakukan untuk pengontrolan diet sodium/natrium
ini ; - Jangan meletakkan garam diatas meja makan - Pilih jumlah kandungan
sodium rendah saat membeli makan - Batasi konsumsi daging dan keju - Hindari
cemilan yang asin-asin - Kurangi pemakaian saos yang umumnya memiliki kandungan
sodium
- Kandungan Potasium/Kalium
Suplements potasium 2-4 gram perhari
dapat membantu penurunan tekanan darah, Potasium umumnya bayak didapati pada
beberapa buah-buahan dan sayuran. Buah dan sayuran yang mengandung potasium dan
baik untuk di konsumsi penderita tekanan darah tinggi antara lain semangka,
alpukat, melon, buah pare, labu siam, bligo, labu parang/labu, mentimun, lidah
buaya, seledri, bawang dan bawang putih. Selain itu, makanan yang mengandung
unsur omega-3 sagat dikenal efektif dalam membantu penurunan tekanan darah
(hipertensi). Pengobatan hipertensi biasanya dikombinasikan dengan beberapa
obat; - Diuretic {Tablet Hydrochlorothiazide (HCT), Lasix (Furosemide)}.
Merupakan golongan obat hipertensi dengan proses pengeluaran cairan tubuh via
urine. Tetapi karena potasium berkemungkinan terbuang dalam cairan urine, maka
pengontrolan konsumsi potasium harus dilakukan. - Beta-blockers {Atenolol
(Tenorim), Capoten (Captopril)}. Merupakan obat yang dipakai dalam upaya
pengontrolan tekanan darah melalui proses memperlambat kerja jantung dan
memperlebar (vasodilatasi) pembuluh darah. - Calcium channel blockers {Norvasc
(amlopidine), Angiotensinconverting enzyme (ACE)}. Merupakan salah satu obat
yang biasa dipakai dalam pengontrolan darah tinggi atau Hipertensi melalui
proses rileksasi pembuluh darah yang juga memperlebar pembuluh darah.
http://www.infopenyakit.com/2008/01/penyakit-darah-tinggi-hipertensi.html
Senin, 21 Desember 2009
Jambu biji (Guava, psidium
guajava linn) berasal dari Amerika Tengah. Tanaman ini dapat tumbuh baik di
dataran rendah maupun di dataran tinggi. Umumnya ditanam di pekarangan dan di
ladang-ladang. Pohon jambu biji merupakan tanaman perdu yang banyak bercabang,
tingginya dapat mencapai 12 m. Besarnya buah bervariasi dari yang yang
berdiameter 2,5 cm sampai dengan lebih dari 10 cm.
Jambu yang digemari oleh masyarakat
umumnya yang berdaging lunak dan tebal, rasanya manis, berbiji sedikit dan
buahnya berukuran besar. Beberapa jenis jambu biji yang diunggulkan
antara lain jambu Pasar Minggu, Jambu Bangkok, jambu Palembang, jambu sukun,
jambu apel, jambu sari, jambu merah dan jambu merah getas.
Diantara berbagai jenis buah, jambu biji mengandung
vitamin C yang paling tinggi dan cukup mengandung vitamin A. Dibanding
buah-buahan lainnya seperti jeruk manis yang mempunyai kandungan vitamin C 49
mg/100 gram bahan, kandungan vitamin C jambu biji 2 kali lipat. Vitamin C ini
sangat baik sebagai zat antioksidan. Sebagian besar vitamin C jambu biji
terkonsentrasi pada kulit dan daging bagian luarnya yang lunak dan tebal.
Kandungan vitamin C jambu biji mencapai puncaknya menjelang matang. Selain
pemasok andal vitamin C, jambu biji juga kaya serat, khususnya pectin (serat
larut air), yang dapat digunakan untuk bahan pembuat gel atau jeli. Manfaat
pectin lainnya adalah untuk menurunkan kolesterol yaitu mengikat kolesterol dan
asam empedu dalam tubuh dan membantu pengeluarannya. Penelitian yang dilakukan Singh
Medical Hospital and Research center Morrabad, India
menunjukkan jambu biji dapat menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida
darah serta tekanan darah penderita hipertensi essensial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar